Hayek Sang Perintis : Pola Gerakan Dibalik Suksesnya Neo-Liberalisme (Bagian I)


"The best way to destroy the capitalist system is to debauch the currency. By a continuing process of inflation governments can confiscate, secretly and unobserved, an important part of the wealth of their citizens"

(John Maynard Keynes)



John Maynard Keynes
Neo-Liberalisme adalah ideologi mutakhir dari kapitalisme yang saat ini sedang dalam masa keemasannya. Margaret Thatcher, pada masanya dengan bangga menyebutnya dengan Sebutan “TINA” (There is No Alternatives). Sejak 1970-an sampai sekarang, Neo-Liberalisme semakin progresif menyusup ke dalam kebijakan dan praktek negara-negara kapitalis maju, dengan dukungan Bank Dunia, IMF dan WTO. Dalam eksistensinya, Neo-Liberal terlihat sebagai antitesa dari welfarestaat, antitesa Keynesian, bahkan mungkin antitesa bagi liberalisme neo-klasik sekalipun. Dengan kata lain, Neo-Liberalisme adalah Paham Liberal Baru atau Paham Kanan Baru (New Right) 

Sejarah Neo-Liberal tercatat mulai sejak tahun 1930-an, dikumandangkan oleh Friedrich von Hayek (1899-1992). Di tangan Hayek, lahirlah kemudian sang maestro pencetus Moneterisme, Milton Friedman. Pada masa perintisan ajaran neo-liberal, dunia masih disemarakkan oleh kejayaan Keynesianisme, yang merupakan aliran ilmu ekonomi dari John Maynard Keynes. Kejayaan Keynesian dimulai dari jasanya dalam memecahkan Depresi besar perekonomian di tahun 1929-1930. Presiden Roosevelt dengan program “The New-Deal” maupun Marshall Plan mengadopsi ajaran “Keynesian” untuk pembangunan Eropa pasca Perang Dunia ke-II. Sejak saat itu “Keynesian” resmi dipercaya sebagai mainstream ekonomi. Terlebih, IMF dan Bank Dunia saat itu sering dikenal sebagai si kembar Keynesianis, karena prakteknya menganut aliran “ Keynesian”.

Dasar Pokok Ajaran Keynes
Keynes mengajarkan bahwa Negara harus diberikan kepercayaan untuk melakukan intervensi dalam kehidupan ekonomi. Dalam idealismenya, Keynes mengedepankan bagaimana kebijakan ekonomi itu eksistensinya harus mengikis pengangguran, sehingga tercipta tenaga kerja penuh (full employment) – tidak ada Outsource -- serta mengedepankan pemerataan yang lebih besar.

Pada tahun 1926, Keynes menerbitkan bukunya yang fenomenal berjudul “The End of Laissez-Faire”, yang menghentak semangat Renaissance. Dalam bukunya, Keynes menegaskan ketidakpercayaannya tentang kepentingan individual yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan umum. Sebaliknya Keynes menganggap, “Sama sekali tidak akurat menarik kesimpulan prinsip-prinsip ekonomi politik seperti itu, karena kepentingan perorangan yang paling pintar sekalipun akan selalu menyesuaikan diri dengan kepentingan umum”.

Berawal dari Kecemasan menguatnya Keynesian
Di lain sisi, neo-liberal ketika itu sama sekali belum populer. Akan tetapi keresahan Hayek dan kawan-kawan semakin kuat atas menguatnya paham Keynes. Untuk perlawanan atas itu, Hayek dan kawan-kawan membangun basis di tiga universitas, seperti : Universitas Chicago, London School of Economics (LSE), dan Institut Universitaire de Hautes Etudes Internasionales (IUHEI) di Jenewa, dan kemudian mendirikan sebuah lembaga yang konsisten mengembangkan neo-liberal bernama Societe du Mont-Pelerin.

Lembaga tersebut sangat intens mengadakan pertemuan-pertemuan. Tercatat pertemuan mereka yang pertama dimulai pada bulan April 1947 dengan dihadiri oleh 36 orang. Pertemuan yang didanai oleh bankir-bankir Swiss ini, ikut dimeriahkan oleh kehadiran Karl Popper dan Maurice Allais, serta tiga penerbitan terkenal yaitu, Fortune, Newsweek dan Reader’s Digest. Lembaga ini berjalan seperti organisasi rahasia freemasonry, dengan sangat terorganisir dan bertujuan jelas yaitu, menyebarluaskan kredo kaum neo-liberal, dengan menggelar pertemuan-pertemuan internasional secara reguler.

Buku Hayek "The Road of Serfdom"
Untuk memenangkan Pahamnya, Hayek kemudian menyerang Keynesian dengan penerbitan Buku berjudul “The Road to Serfdom” (Jalan ke Perbudakan). Serangan Hayek terhadap Keynesian nampak dalam kutipan berikut, “Pada masa lalu, penundukan manusia kepada kekuatan impersonal pasar, merupakan jalan bagi berkembangnya peradaban, sesuatu yang tidak mungkin terjadi tanpa itu. Dengan melalui ketertundukan itu maka kita bisa ikut serta setiap harinya dalam membangun sesuatu yang lebih besar dari apa yang belum sepenuhnya kita pahami”. Kutipan dalam buku Hayek tersebut menampakkan bagaimana ketidaksepahaman Hayek dengan intervensi Negara terhadap aktifitas pasar model Keynesian. dari sana, akhirnya Buku Hayek tersebut menjadi semacam kitab suci bagi kaum New-Right dan kemudian diterbitkan di Reader’s Digest pada tahun 1945.

Dari kutipan Hayek tersebut, nampak bahwa Neo-liberal mengharapkan sistem ekonomi kembali kepada praktek kapitalisme pada abad-19, yang menjunjung kebebasan individi berjalan begitu saja dengan meminimalisir kekuasaan Negara terhadap kehidupan ekonomi. Dalam pola pikir ini, kehidupan ekonomi dengan mekanisme pasar, lebih dikedepankan daripada pengurusan yang dilakukan oleh pemerintah. Ini artinya dunia akan diatur oleh suatu hukum individualistis, dimana Mekanisme pasar yang dikendalikan oleh persepsi individu, dan pengetahuan para individu.


(Dedy Andiwinata - pen)

(Bersambung ke Bagian II)
Hayek Sang Perintis : Pola Gerakan Dibalik Suksesnya Neo-Liberalisme (Bagian I)
Item Reviewed: Hayek Sang Perintis : Pola Gerakan Dibalik Suksesnya Neo-Liberalisme (Bagian I) 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!