Analisis ekonomi Pemburu Rente

Oleh : Didik J Rachbini

KISAH tentang pengusaha yang menerobos kekuasaan, baik karena kedekatan, kolusi, maupun peran ganda, sesungguhnya telah masuk dalam kajian ekonomi politik. Teori yang mengkaji masalah itu dikenal dengan sebutan teori perburuan rente ekonomi ("Theory of Economic Rent-seeking").

Teori tersebut menjelaskan fenomena perilaku pegusaha untuk mendapatkan lisensi khusus, monopoli dan fasilitas lainnya dari pihak yang berwenang, yang mempunyai kekuasaan atas bidang tersebut. Dengan lisensi khusus, maka dengan mudah pelaku yang lain tidak bisa masuk pasar. Karena itu, perilaku pemburu rente ekonomi biasanya merupakan perilaku antipersaingan atau menghindari persaingan.

Maklum, dalam sistem ekonomi politik modern domain negara harus dipisah dari domain swasta. Masing-masing memiliki ciri dan karakteristik berbeda serta diatur dengan aturan main yang berbeda pula. Campur-aduk keduanya menyebabkan kedua sistem tersebut mengalami distorsi, yang akan berujung pada ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, monopoli, dan korporatisme.

***

Fenomena perburuan rente ekonomi dipelajari pertama kali dalam hubungannya dengan hak monopoli yang diberikan oleh negara kepada pengusaha. Hal tersebut dilihat oleh Gordon Tullock pada tahun 1967. Jadi, Tullock merupakan ekonom pertama yang membahas teori perburuan rente ekonomi ini.

Perburuan rente ekonomi terjadi ketika seorang pengusaha atau perusahaan mengambil manfaat atau nilai yang tidak dikompensasikan dari yang lain dengan melakukan manipulasi pada lingkungan usaha atau bisnis. Manipulasi pada lingkungan usaha tersebut juga terjadi, karena perebutan monopoli atas aturan main atau regulasi. Karena itu, pelaku usaha yang melobi untuk memengaruhi aturan lebih memihak dirinya dengan pengorbanan pihak lainnya disebut pemburu rente ("rent seekers").

Pembahasan lebih lanjut dilakukan oleh Anne Krueger pada tahun 1973, yang membuat makalah mandiri dari karya Tullock. Kata rente atau sewa dalam pengertian ekonomi politik ini tidak sama dengan kata sewa yang selalu dijelaskan Adam Smith. Dalam pengertian Adam Smith, sewa berarti uang yang diperoleh dari menyewakan barang atau barang modal kepada orang lain. Adam Smith bahkan membedakan tiga jenis pendapatan, yaitu keuntungan, upah, dan sewa.

Tetapi pemburu rente dalam kajian ekonomi politik ini berarti perburuan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan di dalam bisnis. Pengusaha memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan yang sehat di dalam pasar. Kekuasaan dipakai untuk memengaruhi pasar sehingga mengalami distorsi untuk kepentingannya.

Perilaku perburuan rente dibedakan dari perilaku mencari untung dalam usaha atau bisnis yang sehat. Di dalam bisnis yang sehat, perusahaan menciptakan nilai, kemudian melakukan transaksi yang saling menguntungkan. Tetapi di dalam praktik perburuan rente ekonomi, pelaku usaha mengundang kekuasaan atau memengaruhi kekuasaan untuk mengambil dari suatu nilai yang tidak dikompensasi.

Meskipun demikian, praktik di lapangan sering bersifat campur-aduk antara keduanya. Tidak mudah memisahkan jenis-jenis bisnis yang tergolong bisnis dengan mencari keuntungan yang sehat dengan praktik perburuan rente ekonomi.

Praktik berburu rente ekonomi juga diasosiasikan dengan usaha untuk mengatur regulasi ekonomi melalui lobi kepada pemerintah dan parlemen. Penetapan tarif oleh pemerintah untuk kelompok bisnis juga merupakan bagian dari praktik tersebut. Hal yang sama dalam pemberian monopoli impor gandum, beras, gula, dan sejenisnya merupakan bagian dari praktik perburuan rente ekonomi.

Kasus impor beras adalah suatu bentuk praktik monopoli dalam bentuk lisensi yang diberikan kepada Bulog, kemudian pihak-pihak lain menjadi pelaksananya. Praktik ini sudah terjadi bertahun-tahun, yaitu rente ekonomi dari impor beras sangat mudah didapat dengan alasan yang masuk akal untuk menjaga stok beras nasional di tangan negara. Dengan alasan tersebut, impor beras terus-menerus terjadi sehingga pasokan beras terus meningkat dan harga menurun.

Lisensi impor diperlukan dari negara untuk menyerap beras dari negara lain, seperti Thailand dan Vietnam. Kelebihan beras tersebut menjadi penyakit di dalam negeri. Karena itu, harga beras dalam keadaan suplai berlebihan menjadikan harga sangat rendah. Produksi dan pasokan berlebihan di kedua negara tersebut menjadi penyakit di dalam negeri mereka sendiri.

Karena itu, kelebihan suplai beras tersebut harus diekspor ke luar negeri, agar tidak menjadi penyakit. Jadi, perdagangan beras karena suplainya berlebihan di negara lain sesungguhnya merupakan perdagangan yang tidak normal atau sering disebut residual trading.

Keadaan itu merupakan peluang bagi importir untuk memindahkan beras dari negara yang berlebih ke negara yang kurang seperti Indonesia. Peluang tersebut menjanjikan keuntungan yang besar bagi importir beras. Tetapi sebaliknya, bagi petani Indonesia pasokan berlebihan dari impor merupakan kerugian yang besar, karena harga beras akan turun drastis.

Jika itu dilakukan dengan mengimpor beras ke Indonesia dalam jumlah yang besar, maka harga beras di Indonesia dan harga di tingkat petani menurun. Pasokan beras tidak normal seperti ini menjadi ancaman bagi kesejahteraan petani.

Bagi suatu pemerintahan, kebijakan pemenuhan kebutuhan pangan khususnya beras, banyak disubsidi oleh anggaran negara berupa kredit murah, pembangunan infrastruktur pertanian, bantuan benih dan teknologi, subsidi pupuk, dan sebagainya. Pemerintah tidak akan bertaruh dengan pangan sehingga dengan mudah dapat mengeluarkan anggaran untuk sektor pangan.

Tetapi pada saat yang sama suatu pemerintahan harus menjaga harga beras cukup baik untuk petani, tetapi tidak terlalu tinggi untuk konsumen. Karena alasan inilah, ekspor kelebihan beras tersebut harus dilakukan agar petani tidak mengalami tekanan harga yang menurun sehingga bisa dijaga tingkat kesejahteraannya.

Karena praktik perburuan rente ekonomi, maka Pemerintah Indonesia cenderung tidak menjaga tingkat harga untuk melindungi petani. Bertahun-tahun petani menderita dan terpukul oleh kejatuhan harga beras, karena impor berlebihan pada waktu tidak panen dan kelebihan pasokan yang kurang diserap pada waktu panen.

Lisensi impor beras kepada Bulog dan didukung oleh importir-importir merupakan praktik perburuan rente ekonomi untuk mengambil untung dengan jalan pintas. Tetapi akibat praktik perburuan rente ekonomi tersebut, petani menjadi korban tekanan harga yang terus menurun. Akibatnya, kesejahteraan petani dikorbankan demi perburuan rente dan kolusi negara dengan swasta.


- Didik J Rachbini, pakar ekonomi.

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/28/nas05.htm
no image
Item Reviewed: Analisis ekonomi Pemburu Rente 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!