Korupsi dan Ekonomi-Rente

Setelah sempat menjadi pro kontra yang sangat hangat di publik, kasus dugaan  pemerasan dan penyalahgunaan wewenang dua pimpinan KPK non-aktif, akhirnya kasus tersebut berakhir dengan penghentian kasusnya oleh Kejaksaan dan aktifnya kembali Chandra Hamzah dan Bibit S. Riyanto sebagai Pimpinan KPK.

Kini publik kembali dialihkan perhatiannya kepada kasus Bank Century yang sekarang ini sedang ditangani secara politik oleh Pansus Angket DPR RI.

Kasus Century yang sudah meng-hotelprodeo-kan Robert Tantular, sang pemilik bank, bukan saja menarik dikarenakan melibatkan dana yang tidak sedikit : Rp 6,7 trilyun ataupun isu keterlibatan berbagai petinggi teras Indonesia, namun yang lebih substantif adalah gambaran ‘impoten’nya supremasi hukum sebagai produsen keadilan hukum dan masih eksisnya pola ekonomi-rente yang melibatkan relasi oknum pengusaha-pejabat di negeri ini. Pola kolusi yang sama yang juga nyata terlihat dalam kasus Bibit-Chandra dan berbagai kasus korupsi lainnya. Bahkan yang sangat controversial, rangkaian kasus korupsi tersebut sempat memunculkan prasangka-prasangka rasial di kalangan masyarakat Tionghoa.

Ekonomi rente dalam makna ekonomi politik sendiri dapat diartikan kegiatan untuk mendapatkan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan di dalam bisnis. Pelaku usaha dalam hal ini memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan yang sehat di dalam pasar, namun dengan mengundang kekuasaan atau memengaruhi kekuasaan untuk mengambil dari suatu nilai yang tidak dikompensasi. Praktek ekonomi-rente uga diasosiasikan dengan usaha untuk mengatur regulasi ekonomi melalui lobi kepada pemerintah dan parlemen. Menurut Gordon Tullock yang merupakan ekonom pertama yang membahas "Theory of Economic Rent-seeking" bahwa perilaku ekonomi ini cenderung terjadi pada mereka yang memegang kendali struktur monopoli. Di sektor ekonomi ia memonopoli sumber daya, distribusi dan pasar sementara di sektor publik menjadi pengontrol kebijakan di pemerintahan maupun legislatif.

Fenomena ekonomi-rente di Indonesia pernah diungkap Prof. Yoshihara Kunio dalam bukunya yang cukup terkenal “The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia’, yang juga diperkuat oleh Prof. Dr. Ruth McVey, seorang Indonesianis.  Menurut Kunio, praktek kapitalisme semu (ersatz capitalism) di Asia Tenggara terutama Indonesia menimbulkan tumbuhnya pemburu rente di kalangan birokrat pemerintah sehingga pelaku usaha yang sesungguhnya tidak bisa berkembang. Akhirnya kemudian kemunculan kapitalis asia tenggara itu dikarenakan adanya orang-orang  yang punya kedekatan dengan penguasa (personal contact) serta cenderung membangun industri berdasarkan kedekatan keluarga, ketimbang membangun industri berdasarkan pada profesionalisme industrialis.

Kapitalisme semu itu telah mewujud dalam bentuk kerjasama saling menguntungkan antara oknum pengusaha yang menyediakan modal domestik maupun asing dengan pejabat yang menyediakan fasilitas, insentif dan proteksi. Pengusaha memperoleh keuntungan berupa murahnya sumber daya, mudahnya akses atas informasi dan opportunity yang diperoleh melalui kebijakan yang dikeluarkan untuk itu sementara pejabat memperoleh keuntungan dalam imbalan suap, kolusi  dan korupsi.

Dalam prakteknya, ekonomi-rente kerapkali tumbuh subur berdampingan dengan kebijakan diskriminasi politik yang diterapkan di suatu negara. Dalam konteks Indonesia pada masa Orde Baru, lemahnya ‘posisi politik’ dengan status kewarganegaraan yang kerap dipandang sebagai imigran ‘asing’, kelompok Tionghoa yang memang diposisikan dalam bidang ekonomi menjadi ‘pasar’ yang potensial bagi praktek ekonomi-rente. Menurut Kunio, Dengan kedudukan politik yang penting dalam birokasi dan akses yang mudah dalam bidang ekonomi mendorong ‘kapitalis’ birokrat-militer menjual jasa dari keuntungan kedudukannya itu kepada pengusaha swasta terutama Tionghoa. Dalam hal ini kapitalis birokrat-militer tidak lebih sebagai kapitalis komprador atau kapitalis semu yang menjual jasa untuk memburu rente.

Keterlibatan beberapa oknum Tionghoa seperti Anggodo-Anggoro bersaudara, Ong Yuliana, Robert Tantular, dan beberapa pengusaha Tionghoa yang dikaitkan dengan baik ‘kasus Anggodo’ ataupun Bank Century, bukan saja menguatkan kembali fenomena ekonomi-rente di Indonesia, namun juga kembali memunculkan berbagai prasangka rasial yang ditujukan kepada kelompok Tionghoa. Berbeda dengan pada masa Orde Baru, bergesernya kekuatan politik semasa reformasi dari eksekutif kepada legislatif ataupun yudikatif, berbagai kasus korupsi lebih banyak melibatkan anggota parlemen dan bahkan kalangan penegak hukum.

Sekalipun banyak dilatarbelakangi persoalan diskriminasi, namun terlalu sederhana mengaitkan fenomena ekonomi-rente yang dikemukakan oleh Kunio dengan persoalan etnisitas Tionghoa, seperti yang pernah diucapkan oleh pengacara Anggodo Widjojo. Walaupun sulit disangkal bahwa diskriminasi yang cukup lama mengakibatkan kelompok Tionghoa pada posisi yang inferior dalam berhadapan dengan kekuasaan politik. Namun praktek ekonomi-rente dalam bentuk apapun yang berlawanan dengan hukum, lebih merupakan persoalan kepentingan dan motif ekonomi pribadi atau keluarga oknum Tionghoa yang bersangkutan ketimbang dikarenakan faktor ke-Tionghoaannya.  Bahkan komunitas Tionghoa kebanyakan bersama juga dengan komunitas masyarakat lainnya kerapkali justru merupakan korban yang langsung atau tidak langsung dari praktek ekonomi-rente. Kalau ingin lebih obyektif, bahkan di antara korban dari kasus Bank Century juga merupakan warga Tionghoa yang sampai detik ini masih berjuang untuk mendapatkan keadilan hukum dari kasus ini.

Ekonomi-rente merupakan musuh bersama  bangsa yang harus diatasi bersama termasuk komunitas Tionghoa. Praktek ekonomi-rente bukan saja bahwa pola ekonomi tersebut melanggar hukum seperti diamanatkan oleh UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun praktek tersebut hanya menjadi beban ekonomi tinggi yang pada akhirnya sangat merugikan secara ekonomi bagi setiap Indonesia. Bahkan dalam menyongsong persaingan global, pola kolusi ekonomi antara pengusaha-pejabat, hanya akan semakin menterpurukan comparative-advantage pengusaha-pengusaha Indonesia.

Dalam kondisi birokrasi dan penegakan hukum yang koruptif dan sistem politik ekonomi yang kapitalistik, ekonomi-rente, korupsi, kolusi, dan nepotisme setiap saat dapat dilakukan oleh siapapun yang ingin meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, terlebih ketimpangan akses politik dan budaya ekonomi yang juga korup masih nyata dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Jawaban nyata atas permasalahan bangsa ini bukanlah kepada pendekatan rasialistik, namun upaya penegakan hukum yang berkeadilan terhadap siapapun tanpa terkecuali, pemihakan ekonomi dan akselerasi perwujudan kesejahteraan bagi masyarakat miskin dan termarjinalisasi, reformasi birokrasi beserta perbaikan sistem remunerasi termasuk instansi peradilan dan penegakan hukum, serta penguatan keterbukaan (transparansi)  dan demokratisasi yang memperluas partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan publik.

Wahyu Effendy, Ketua Advokasi Perhimpunan INTI dan Ketua Umum GANDI


Source : Suara Baru, edisi Jan-Mar 2010
no image
Item Reviewed: Korupsi dan Ekonomi-Rente 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!