Parpol Pemburu Rente dan Korupsi Politik

Partai-partai politik kesulitan alias tidak mampu membangun sumber keuangan mandiri, sehingga akibatnya parpol menjadi "pemburu rente", baik melalui kader di lembaga legislatif, eksekutif, maupun mengambil dana dari pengusaha. Perburuan rente oleh parpol ini merugikan rakyat karena salah satu caranya adalah merampok kebijakan dan anggaran Negara.

Perilaku "maling" alias perilaku koruptif yang ditunjukkan sejumlah elite dan kader partai politik terjadi lantaran tingginya biaya politik. Banyaknya partai politik yang terjerat kasus kasus korupsi merupakan imbas dari praktik politik transaksional selama 13 tahun pasca reformasi. Parpol tidak mampu menghidupi diri sendiri sehingga mengejar kekuasaan agar bisa merampok uang Negara bagi kepentingan partai politik.

Pola hubungan yang dibangun partai politik dan konstituen kini lebih mengarah kepada praktik politik uang. Partai politik tidak menjalankan fungsinya sebagai sarana pendidikan politik dan penampung aspirasi masyarakat. Rakyat hanya didekati dan pura-pura didekati menjelang pemilu dan sering diberi materi sebagai kompensasi.

Sementara itu, mayoritas parpol tidak memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai ongkos politik. Partai politik tidak memiliki mekanisme pengumpulan sumber pendapatan, seperti iuran atau sumbangan dari anggota. Umumnya partai politik masih tergantung dari bantuan pihak luar.

Biaya politik yang mahal membuat parpol berlomba-lomba memperebutkan kekuasaan. Parpol mengejar kekuasaan agar bisa menyedot uang Negara sebagai sumber dana parpol, dengan demikian parpol adalah mutlak pemburu rente. Negara masih menjadi sumber utama untuk pemodalan biaya politik parpol.

Self help (kemandirian) menjadi masalah utama parti politik di Indonesia. Tidak ada parpol yang mandiri, terutama sekali dalam soal pembiayaan, sehingga mereka memeras kadernya dan kadernya menyedot keuangan Negara untuk kegiatan politik. Korupsi yang dilakukan politikus gadungan, terutama yang duduk di DPR, sering terjadi mengingat mereka juga dituntut agar mampu membiayai parpol yang telah menjadi kendaraan mereka meraih jabatan wakil rakyat.

Berbagai kasus korupsi yang melibatkan para politikus gadungan, baik anggota parlemen maupun pejabat eksekutif, dikategorikan sebagai korupsi politik. Korupsi politik melibatkan kejahatan dan kecurangan oleh pemimpin politik sebelum, selama, dan setelah menjabat. Berbeda dengan korupsi yang lainnya, pelakunya pejabat publik yang terpilih melalui pemilu sehingga mempunyai otoritas dan bertanggung jawab mewakili kepentingan publik.

Berbeda dengan kasus korupsi biasa yang tujuan utamanya sekedar untuk memperkaya diri sendiri, korupsi politik berkepentingan menggalang dana untuk memenangi pemilu dan mempertahankan kekuasaan. Terlebih, biaya politik (political cost) meraih kekuasaan melalui pemilu semakin lama semakin mahal. Di tengah kelangkaan sumber daya, uang kemudian menjadi sumber daya utama karena uang paling mudah dikonversi menjadi sumber daya yang lain yang diperlukan untuk memenangi pemilu. Dengan uang, partai politik dan kandidat bisa membeli jasa konsultan, media, dan barang lain yang diperlukan untuk memenangi pemilu.

Pemenangan pemilu menjadi kian mahal ketika parpol dan kandidat tidak memiliki organisasi dan jaringan yang kuat dan menjangkau hingga ke akar rumput. Absennya infrastruktur politik (political infrastructure) ini dikompensasi dengan membeli iklan di media massa dan staf professional yang biayanya mahal. Absennya infrastruktur politik juga mengakibatkan partai politik dan kandidat tidak mampu menggalang sumbangan dari anggota atau pendukung sehingga mengandalkan "Penyumbang Besar".

Namun demikian, tak ada makan siang gratis. Para penyumbang besar ini kemudian meminta imbalan dari proyek-proyek pemerintah sehingga mendorong korupsi politik. Ketiadaan infrastruktur politik juga menimbulkan problem representasi politik. Politik yang tak punya ikatan dengan konstituen cenderung tuli terhadap suara publik dan terus menghabiskan anggaran untuk jalan-jalan ke luar negeri atau membangun gedung DPR yang mendapat penolakan luas.

Kasus dugaan suap proyek Wisma Atlet yang melibatkan Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dan keterlibatan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad "Si Arab" Nazarudin merupakan salah satu contoh perburuan rente dan korupsi politik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani setidaknya delapan kasus dengan 42 tersangka yang melibatkan politikus gadungan di Senayan yang juga kader partai politik.

Perburuan Rente dan Korupsi Politik melibatkan tiga lingkaran, yaitu lingkaran birokrasi, politikus, dan pengusaha. Segala hal yang dilakukan politikus gadungan di Senayan selalu berhubungan dengan parpol. Apalagi saat ini hampir separuh penghuni Senayan adalah pengusaha.

Praktik perburuan rente dan korupsi politik di birokrasi dilakukan dengan cara menempatkan kader parpol di posisi strategis, kemudian membajak kebijakan dan anggaran untuk memperkuat dan memperluas basis massa partai. Perburuan rente juga terjadi di birokrasi daerah. Perburuan rente dilakukan dengan mendorong penguasaan posisi kepemimpinan politik daerah (kepala daerah), pembelian kandidat (candidacy buying) dalam seleksi calon kepala daerah, serta membajak kebijakan dan anggaran daerah. Biasanya, satu atau dua tahun menjelang pilkada, tren pengucuran bantuan sosial di kandang parpol meningkat. Parpol juga memburu rente dari pengusaha melalui sumbangan illegal untuk kampanye, donatur partai, atau fee proyek.

Untuk mencegah praktik perburuan rente dan korupsi politik, harus ada sanksi yang berat bagi politikus korup. Hukuman bagi politikus atau elite partai politik yang terlibat kasus korupsi seharusnya diperberat. Selain untuk memberikan efek jera, sanksi berat itu dapat meminimalkan kejahatan korupsi di ranah politik. Harus ada upaya sistematis dalam penegakan hukum sera cara-cara luar biasa (extra ordinary) untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan kekuatan politik tertentu.

Sering kasus korupsi dijadikan sebagai bahan negosiasi antar kekuatan politik. Penyelesaian kasus korupsi juga lebih didasarkan pada pertimbangan politis sehingga kerap kali kasus-kasus korupsi muncul untuk kemudian hilang tanpa diketahui penyelesaiaannya.

Ketidakjelasaan penyelesaiaan hukum itulah menyebabkan politikus gadungan tidak takut untuk melakukan korupsi sehingga yang dibutuhkan adalah ketegasan penegak hukum serta hukuman yang berat agar politikus tidak dengan mudah mem-politik-an sebuah kasus korupsi. Pandangan para politikus juga harus dirubah bahwa untuk memenangi pemilu diperlukan kerja politik, bukan materi atau uang.

Jika korupsi di lingkungan parpol dibiarkan, itu menjadi mala petaka bagi bangsa. Bangsa Indonesia akhirnya bisa membusuk akibat politik uang (money politic) dan korupsi politik (political corruption) yang merajalela ini. Oleh karena itu, pengaturan dana politik (partai politik dan dana kampanye) perlu diatur lebih ketat dan lebih keras. Parpol perlu diberi sanksi keras, misalnya dibubarkan atau tidak boleh mengikuti pemilu jika menggunakan dana yang berasal dari tindak kejahatan. Tiba waktunya untuk memerangi dan mencegah korupsi politik di sumbernya, yakni dengan mengatur dana politik.

Sumber : http://www.kompasiana.com/ade_indonesia/parpol-pemburu-rente-dan-korupsi-politik_5500cabb8133110a1afa7cb6
no image
Item Reviewed: Parpol Pemburu Rente dan Korupsi Politik 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!