Hayek Sang Perintis : Pola Gerakan Dibalik Suksesnya Neo-Liberalisme (Bagian II - Habis)

Oleh : Dedy Andiwinata


Dasar-dasar Paham Neo-Liberal
Friedrich A. Von Hayek
Penganut Neo-Liberal beranggapan bahwa, mendudukkan Individu lebih tinggi dari masyarakat akan jauh lebih dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi. Sehingga mekanisme pasar dianggap dapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial. Selain itu, kaum Neo-Liberal memiliki anggapan bahwa, pengetahuan para individu untuk memecahkan persoalan masyarakat tidak perlu ditransmisikan melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, melainkan hanya bisa dijawab oleh mekanisme pasar. Sehingga oleh Neo-Liberal, Serikat Buruh atau organisasi masyarakat yang ada dianggapnya “tidak begitu bermanfaat”.

Dengan dasar liberalisme seperti itu, bukan berarti serta-merta Hayek menentang pemerintahan otoriter. Dalam sikap Hayek tentang rezim Pinochet di Chili, Ia berkomentar, “…Seorang diktator dapat saja berkuasa secara liberal, sama seperti mungkinnya demokrasi berkuasa tanpa liberalisme. Preferensi personal saya adalah memilih sebuah kediktatoran liberal ketimbang memilih pemerintahan demokratis yang tidak punya liberalisme” . Dalam statement itu, Demokrasi di bidang politik, dipahami sebagai sistem yang memberikan jaminan bagi berlakunya kebebasan individu untuk menentukan pilihan dalam transaksi pasar. Begitupula William Niskanen seorang dedengkot Neo-Liberalis, mengemukakan pendapatnya [hasutannya] bahwa, pemerintah berlebihan mengutamakan kepentingan rakyat merupakan pemerintah yang tidak diinginka. Ini sebabnya ketika terjadi benturan kepentingan antara ide demokrasi dengan pengembangan usaha sang kapitalis, maka cenderung yang dikorbankan adalah demokrasi.

Dalam Buku “The Counter Revolution in Monetary Theory”, Friedmen mencoba memperkuat gagasan Neo-liberalisme. Menurutnya freedom of choice (kebebasan memilih) individual yang ekstrim akan melahirkan pertumbuhan konglomerasi dan bentuk-bentuk unit usaha besar lainnya. Neo-Liberal dalam konteks ini, tidak mengambil pusing terhadap ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi dalam masyarakat. Akibatnya, kekuasaan ekonomi yang dipegang oleh segelintir orang adalah ideal menurut pandangan Neo-Liberalis. Lalu bagaimana dengan nasib ide “kesamarataan”? , tentu tidak mendapatkan porsi dalam bahasan Neo-Liberal.

Cara Neo-Liberal Berkembang
Masih ingat dengan pemikir marxis dari Italia Antonio Gramsci? dalam teori hegemoni kultural, Gramsci pernah menyatakan, “Bila kamu dapat menguasai kepala orang, maka hati dan tangan mereka akan ikut”. Inilah kiranya menjadi dasar bagi Neo-Liberalisme memulai gerakannya. Menurut Susan George, Gerakan Neo-Liberalisme merupakan kelompok kecil rahasia yang sangat percaya pada doktrin Gramsci tersebut. Atas dasar itu, dibangunlah jaringan melalui pembentukan yayasan-yayasan internasional, pusat-pusat riset, melakukan publikasi, serta memikirkan pendanaannya. Dengan melibatkan para akademisi, para penulis, serta humas untuk mengembangkan, mengemas dan mempromosikan ide serta doktrin tersebut tanpa henti akhirnya Gerakan Neo-Liberal menjadi populer. Selanjutnya, Susan menyatakan bahwa kaum Neo-Liberal melakukan pembangunan kader-kader ideologis yang luar biasa efisiennya. Mereka memahami benar pemikiran Gramsci, sehingga Anthony Fisher, mendirikan Institute of Economic Affairs (IEA) pada tahun 1955.

Tujuan IEA adalah “menyebarluaskan pemikiran tentang ekonomi liberal di berbagai universitas dan lembaga-lembaga pendidikan mapan lainnya”. Milton Friedman sangat bangga dengan berdirinya IEA. Menurut Friedman IEA inilah yang begitu mempengaruhi pemikiran Margaret Thatcher. Kebanggaan Friedman dibuktikan dengan pernyataan sebagai berikut, “Tanpa adanya IEA, maka saya meragukan akan bisa terjadi revolusi Thatcherite” . Kelahiran IEA, menjadi pendorong utama kelahiran lembaga-lembaga lain di Inggris, misalnya :
  1. The Daily Telegraph, salah satu koran bterkemuka di Inggris.
  2. Centre for Policy Studies (CPS) di tahun 1974 yang memberikan pengaruh kepada para politisi di Inggris.
  3. Adam Smith Institute (ASI) di tahun 1976.

Dari Inggris, akhirnya berkembanglah kerjasama dengan Heritage Foundation untuk mendirikan lembaga yang identik di Washington pada tahun 1973 oleh para lulusan LSE. Tujuannya adalah guna menciptakan kondisi yang sama pada politik Amerika, sebagaimana yang sudah berhasil dilakukan oleh CPS terhadap politik Inggris”. Sehingga di Amerikapun bermunculan lembaga-lembaga dengan misi yang sama, antara lain :
  1. Fraser Institute, yang didirikan tahun 1974 di Kanada dan Anthony Fisher menjadi presiden dalam institute tersebut.
  2. International Centre for Economic Policy Studies didirikan di New York tahun 1977. Dimana salah satu pendirinya adalah Bill Casey, yang kelak diangkat menjadi Direktur CIA.
  3. Institute for Public Policy didirikan di San Francisco oleh Fisher pada tahun 1979.
  4. Centre for International Studies (CIS) didirikan di Australia, dengan dipimpin oleh Greg Lindsay sebagai direktur. Lindsay merupakan kontibutor bagi berkembangnya program pasar bebas dalam politik Australia. Dalam rangka memudahkan mengelola berbagai lembaga tersebut, Fisher mendirikan.

Disamping itu, berdirinya Atlas Economic Research Foundation yang menyediakan struktur kelembagaan pusat, di tahun 1991 berhasil membantu pendirian, pembiayaan sekitar 78 lembaga yang memiliki misi yang sama, serta tercatat mempunyai hubungan dengan 81 lembaga, di 51 negara. Sesaat sesudah tembok Berlin rubuh, dikabarkan banyak personelnya pindah ke Eropa Timur untuk “merubah pola ekonomi menjadi kapitalisme”.

Dengan gerakan yang berpola seperti itu, akhirnya para ekonom neo-Liberal yang pada awalnya tidak populer bahkan ditentang karena tidak sesuai dengan konsep “welfarestaat” (Negara kesejahteraan), namun ditahun 1970-an berhasil menembus dominasi ilmu ekonomi yang dikuasai Keynesian. Bentuk kemenangan Hayek ditandai dengan penganugerahan Nobel Ekonomi kepada Hayek pada tahun 1974 serta pengukuhan dirinya sebagai bapak Neo-liberal atau “ultra-liberal”. Kemudian disusul oleh Friedman di tahun 1976 serta Maurice Allais, yang merupakan seorang anggota Mont-Pelerin Society, meraih Nobel Ekonomi di tahun 1988. Sejak saat itu paradigma ekonomi secara perlahan menggerogoti cara berpikir badan-badan multilateral seperti Bank Dunia, IMF dan GATT (belakangan berubah nama menjadi WTO).

(Dedy Andiwinata - pen)
Hayek Sang Perintis : Pola Gerakan Dibalik Suksesnya Neo-Liberalisme (Bagian II - Habis)
Item Reviewed: Hayek Sang Perintis : Pola Gerakan Dibalik Suksesnya Neo-Liberalisme (Bagian II - Habis) 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!